Pembredelan pers di Indonesia masa kolonial

Pembreidelan Pers Dalam Sejarah Indonesia Masa Kolonial
Pergulatan menuju kebebasan pers masih terus menjadi perjuangan para insan pers dari masa ke masa. Hal ini dikarenakan  kebebasan pers tidak diterima sepenuhnya sebagai sesuatu yang seharusnya dan  menyeluruh, melainkan bergantung pada kebijakan penguasa yang sedang berkuasa, baik sejak zaman kolonial sampai dengan zaman Republik Indonesia. Kebebasan pers di Indonesia seringkali berlangsung dengan prinsip "buka tutup". Artinya, ruang keterbukaan yang diberikan kepada insan pers seringkali bergantung pada "mood" penguasa yang sedang memerintah negeri ini. Kebebasan pers itu seakan-akan merupakan berkah atau hadiah dari penguasa baru, yang muncul menggantikan penguasa otoriter sebelumnya.
Kendala terbesar yang dihadapi pers dalam memperoleh kebebasan pers adalah kebijakan  penguasa yang seringkali mematikan industri pers. Pemerintahan yang berkuasa memiliki senjata maut dalam  menghadapi pers yang dianggap terlalu kritis terhadap penguasa negara, yaitu pembreidelan.
Pembreidelan pers lebih menjadi instrumen politik penguasa negara dalam mengawasi pemberitaan pers terhadap publik. Pembreidelan menjadi pukulan terhadap kebebasan pers sekaligus sebagai pernyataan dominasi penguasa negara atas media pers. Dalam konteks hubungan pers dan negara, pers memiliki posisi politik yang lemah ketika berhadapan dengan kekuasaan negara. Pers justru menjadi bagian dari kekuatan negara. Hal ini lebih merupakan konsekuensi politis, ideologis dan sosiologis dari eksistensi pers itu sendiri.
Pelarangan terbit atau pembreidelan terhadap surat kabar dapat berlaku untuk sementara waktu maupun seterusnya. Tak jarang dalam aksi pembreidelan pers seringkali disertai penahanan terhadap pimpinan surat kabar yang bersangkutan. Banyak peristiwa, rekaman  tekanan, intimidasi dan pemberangusan terhadap pers Indonesia melalui ranjau-ranjau  peraturan dan sensor yang dipasang  pemerintah  masih dapat terangkum dengan jelas, bahkan peristiwa-peristiwa serupa masih sangat mungkin terjadi pada era reformasi seperti saat ini
Pada masa kolonial terjadinya pembreidelan terhadap surat kabar berukuran selembar kertas folio, dengan kedua halaman memuat masing-masing dua kolom, ternyata pernah menjadi ancaman yang ditakuti Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) atau kongsi dagang Hindia Belanda. Dewan direktur VOC menulis surat kepada Gubernur Jenderal di Batavia agar segera melarang penerbitan Bataviase Nouvelles, nama surat kabar tersebut, dengan alasan, “telah menemukan akibat-akibat yang membahayakan di negeri ini dalam hal mencetak dan menerbitkan surat kabar di Batavia.” Bataviase Nouvelles sebenarnya hanya berisi maklumat atau aturan-aturan hukum pemerintah Belanda dan iklan perdagangan. Namun VOC menilai informasi iklan yang dimuat surat kabar ini bisa jadi akan menguntungkan kongsi dagang negara-negara lain. Terus, ancaman terhadap kehadiran dan praktik monopoli mereka di Hindia Belanda.
Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff merespons surat tersebut, dan pada 20 Juni 1746 surat kabar pertama di Hindia Belanda yang belum genap berusia dua tahun itu dipaksa berhenti terbit. Tiga puluh tahun sesudahnya, surat kabar Vendu Nieuws mengalami nasib serupa. Dengan konten iklan lelang yang mirip informasi Bataviase Nouvelles, media ini mendapat pengawasan dan sensor ketat dari VOC. Nasib surat kabar ini lebih beruntung karena mampu bertahan selama 33 tahun sebelum dibredel. Dua surat kabar ini merupakan koran pertama dan terakhir yang terbit semasa VOC sebelum perusahaan multinasional pertama di dunia itu bangkrut dan diserahkan ke tangan pemerintah Belanda.
Penguasa negara merumuskan kebijakan yang mengatur kehidupan pers sejak zaman kolonial. Peraturan pertama mengenai pers di zaman Hindia Belanda dituangkan pada tahun 1856, dalam Reglement op de Drukwerken in Nederlandch-Indie, yang bersifat pengawasan preventif. Terbaca dalam RR 1856 (KB 8 April 1856 Ind.Stb.no 74) antara lain; Semua karya c
etak sebelum diterbitkan, satu eksemplar harus dikirimkan dulu kepada kepala pemerintahan setempat, pejabat justisi dan Algemene Secretarie. Pengiriman harus dilakukan oleh pihak pencetak atau penerbitnya dengan ditandatangani. Jika ketentuan tersebut tidak dipatuhi, maka karya cetak tersebut disita. Tindakan itu bisa disertai dengan penyegelan percetakan atau penyimpanan barang-barang cetakan itu. (Surjomihardjo, 2001:171-172).
Aturan ini pada 1906 diperbaiki menjadi bersifat represif, yang menuntut setiap penerbit mengirim karya cetak ke pemerintah sebelum dicetak. Dalam perubahan tahun 1906 (KB 19 Maret 1906 Ind.Stb.no.270) dihapuskan ketentuan yang bersifat preventif. Sehingga penyerahan eksampler kepada pejabat tersebut dilakukan  dalam waktu 24 jam setelah barang cetakan diedarkan. Ketentuan bahwa pada karya cetak tersebut harus dicantumkan nama dan tempat tinggal si pencetak dan penerbitnya masih berlaku. Pelanggaran ketentuan ini tidak akan mengakibatkan penyitaan, melainkan denda f10-f100.
Dua puluh lima tahun kemudian, pada 1931, pemerintah kolonial melahirkan Persbreidel Ordonnantie. Aturan ini memberikan hak kepada Gubernur Jenderal untuk melarang penerbitan yang dinilai bisa "mengganggu ketertiban umum". Larangan terbit baru dilaksanakan setelah penerbitan yang bersangkutan ditunjuk oleh Gubernur Jenderal sebagai penerbitan yang dilarang terbit untuk sementara. Gubernur Jenderal berhak melarang percetakan, penerbitan, dan penyebaran sebuah surat kabar paling lama delapan hari. Bahkan bisa diperpanjang sampai dengan tiga puluh hari berturut-turut.
Selain Persbreidel Ordonnantie, dikenal pula tindakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pers berdasarkan Haatzaai Artikelen (Surjomihardjo, 2001:173) yakni pasal 154,155,156 dan 157 Wetboek van Strafrecht. Aturan ini mengancam hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah Nederland atau Hindia Belanda, yang berlaku sejak 1918. Haatzai Artikelen dikenal sebagai “pasal – pasal karet” (yang dapat ditafsir menurut keperluan penguasa kolonial). Ada dua kelompok dalam pasal Haatzai Artikelen, yaitu  pasal – pasal yang berhubungan dengan tuduhan melakukan “Kejahatan Melanggar Ketertiban Umum”, dan tindakan melakukan “Kejahatan Melanggar Kekuasaan Umum”. (Surjomihardjo, 2002:17).
Sebagai pers yang berada di daerah jajahan, pers di Indonesia tentu sangat dibatasi oleh pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda menyadari bahwa pers dapat memberi informasi terbuka dan membuka mata masyarakat. Hal itu dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah Hindia Belanda. Hal ini membuat pemerintah Hindia Belanda membuat peraturan yang membatasi kebebasan pers. Muncullah Haatzai Artikelen dan Presbreidel Ordonnantie. Kedua peraturan ini membuat pemerintah Hindia Belanda dapat bertindak sewenang – wenangnya terhadap pers, terutama yang berseberangan dengan pemerintah.






Daftar pustaka
Wisnu Prasetya Utomo. Membredel Pers Dari Masa ke Masa. (pindai.org/diakses pada 20 November 2019 pukul 05:50 Wib)
Reny Triwardani. Pembreidelan Pers di Indonesia Dalam Perspektif Politik Media. Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 7, Nomor 2. Desember 2010: 187-208
Dara Rahmania. Perjuangan Meraih Kebebasan Pers Pada Era Kolonial. (lib.ui.ac.id/diakses   pada 20 November 2019 pukul 06:12 Wib)

Komentar

Postingan Populer