Pers di Minangkabau

Berbicara tentang pers di Minangkabau sungguh menarik. Di Minangkabau, sejarah pers sangat berkaitan dengan sejarah perkembangan Islam. Bahkan keduanya bagaikan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Mengenal sejarah pers di Minangkabau, hampir sama dengan mengenal peradaban Islam di Sumatera Barat. Fenomena inilah yang menjadi dasar sebuah pergolakan kaum Minangkabau di dunia jurnalistik.
Periode awal ditandai dengan penerbitan surat kabar berbahasa Belanda oleh orang Belanda (Indo). Substansi surat kabar ini menyarankan kepentingan pemerintahan atau kaum penjajah (termasuk kaum Indo). Hal-hal yang banyak diberitakan adalah kejadian-kejadian di Sumatera Barat yang bersifat menegakkan rust en orde (ketenangan dan ketertiban), promosi kepentingan kaum penjajah dan Indo, informasi ekonomi, dan tentu saja iklan.
Beberapa surat kabar yang termasuk kelompok ini adalah Sumatra Courant(1859), diterbitkan dan dipimpin olehh I.N.H.A Chatelin. Pada mulanya surat kabar ini tidak teratur, namun sejak masuknya H.A Mess tahun 1878, Sumatra Courantterbit dua kali seminggu. Surat kabar kedua milik kaum Indo adalah Padangach Nicaws ert Advententieblab (1859) dan diterbitkan oleh R.H. van Wijk R.z. Terbit satu kali seminggu (setiap hari sabtu).
Surat kabar ketiga adalah Padangach Handeliblad (1871) dan diterbitkan oleh H.J Klitsch. Tahun 1883 surat kabar ini berganti nama menjadi Niuews Padangach Handelsblad. Pada tahun 1900, bersama Sumatra Courantsurat kabar ini meleburkan dirinya menjadi De Padanger. Satu lagi koran jenis ini yang cukup besar dan berpengaruh adalah Sumatra Bode yang dimiliki Baucaler dan terbit pertama kali tahun 1892.
Beberapa surat kabar yang ada di Minangkabau yang muncul pada periode awal abad ke-20 adalah Wasir Hindia (1903) yang dipimpin oleh St. Rajo Nan Gadang, Bintang Sumatera (1903) yang dipimpin oleh Lim Sun Hian, Sinar Sumatera (1905) dipimpin oleh Lim Sun Hinn dan Warta Berita (1908) dipimpin oleh St. Rajo Nan Gadang. Wujud lain dari ciri surat kabar pada periode awal ini adalah adanya “versi melayu” surat kabar berbahasa Belanda. Surat kabar Tjaja Sumatera misalnya adalah versi melayu Sumatera Bode, sedangkan Bintang Sumatera adalah versi melayu dari De Padanger.
Periode kedua adalah zaman bergolak. Zaman ini adalah kurun waktu perkembangan surat kabar telah semakin maju, dalam artian melimpahnya penerbitan surat kabar dan majalah, banyaknya corak dan aliran penerbitan serta beragamnya lokasi terbit. Salah satu ciri utama periode ini adalah dominannya surat kabar dan majalah berbahasa Melayu yang diterbitkan oleh orang Minang di berbagai pelosok di daerah Minangkabau. Jumlahnya bahkan tidak pernah dilampui oleh kurun waktu lain dalam perjalanan sejarah daerah Sumatera Barat. Jumlahnya lebih dari 50 buah.
Ciri lain dari periode ini adalah terjadinya pergolakan yang cukup sengit sesama “urang awak”versus kaum penjajah (kolonial). Pergolakan tersebut terjadi tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga di media yang beredar saat itu. Periode ini berlangsung sejak dekade kedua abad ke-20 hingga hari – hari terakhir penjajahan Belanda. Bentuk dan tampilan surat kabar pada periode ini sangat beragam. Ada yang berbentuk “standar” seperti surat kabar atau majalah yang kita kenal dewasa ini, namun banyak pula yang hanya ‘digiling” dengan mesin stensilan atau “disablonkan” dengan menggunakan kertas ukuran folio, dan tidak jarang ada juga yang sebagiannya di tulis tangan.

Waktu edarnya pun sangat beragam. Ada yang tidak teratur, ada yan terbit hanya sekali seminggu, dua kali seminggu atau harian. Umumnya, jumlah halaman surat kabar adalah empat dan delapan halaman. Majalah terbit sekali seminggu, dua kali atau satu kali sebulan dan jumlah halamanya sangat bervariasi. Umur rata – rata surat kabar ini juga relatif pendek sekitar dua atau tiga tahun. Sangat sedikit yang berusia lebih dari dua atau tiga tahun. Penyebab utama kematian sebagian surat kabar dan majalah tersebut adalah masalah finansial yang diakibatkan oleh kurangnya iklan dan lalainya pelanggan membayar uang langganan seta sangat minimnya pemasukan dan penjualan langsung.
Mahyuddin Datuk Sultan Maharajo adalah salah satu tokoh pers yang besar pada periode ini. Tokoh yang pernah digelari sebagai “Datuk Rangkik” karena memimpin demonstrasi besar di Kota Padang untuk memperjuangkan kebangkitan adat Minangkabau dalam lingkungan Hindia Belanda Raya ini menerbitkan dan memimpin surat kabar saat itu, yakni Oetoesan Melayu (1910) dan Soeloeh Melayoe (1914). Kedua surat kabar yang terbit di Padang ini menjadi wadah bagi kaum adat untuk menyampaikan pikiran dan gagasannya. Oleh karena itu, Datuk Sultan Maharajo juga dikenal sebagai seorang tokoh pers kaum adat. Beberapa surat kabar atau majalah kaum adat lainnya adalah Barito Minangkabau, Berita Adat, Boedi Chaniago, dan lain sebagainya.
Kaum ada waktu itu memang tengah menghadapi “tantangan” dari sekelompok ulama muda yang ingin mengadakan pembaharuan dalam kehidupan sosial dan budaya, serta praktik keagaaman warga daerah. Dengan surat kabar inilah Datuk Sutan Maharajo dan tokoh – tokoh kaum adat ingin mempertahankan adat lama “pusaka usang” demi kebesaran alam Minangkabau. Sebaliknya ulama muda pembaru juga menjadikan surat kabar dan majalah sebagai wahana menyebarluaskan ide dan gagasan pembaharuan sosial, budaya, dan praktik keagamaan yang mereka lancarkan.
Tokoh peletak dasar Pers Islam (pembaru) di Sumatera Barat adalah H. Abdullah Ahmad. Tokoh pendiri lembaga pendidikan Islam Modern Adabiah yang disebut B.J.O. Schrieke sebagai Bapak Jurnalisme Islam pertama di Indonesia, ini menerbitkan dan memimpin majalah Al-Munir (1911). Di samping itu ada Zainuddin Labay el Yunusi yang menerbitkan Munirul Manar (1919), Syekh Ibrahim Musa Parabek yang menerbitkan Al-Basyir, H. Rasyid yang menerbitkan Al-Istiqan, serta H. Abbas yang menerbitkan Al-Ijtiraq. Penerbit atau pemimpin kelima surat kabar atau majalah tersebut adalah bagian dari kaum muda pembaru Islam. Semua surat kabat atau majalah ini tergabung ke jaringan lembaga pendidikan Islam Sumatera Thawalib sehingga dapat pula dikatakan bahwa surat kabar atau majalah tersebut diterbitkan oleh Sumatera Thawalib Group.
Dengan adanya konflik antara kaum adat dan pembaruan Islam juga ikut memegang andil bagi kelahiran surat kabar yang menyuarakan suara kaum perempuan. Surat kabar Soenting Melajoe yang terbit pertama kali tahun 1911 di Padang di bawah pimpinan Rohana Kudus yang mempunyai ikatan yang kuat dengan kaum adat, khususnya Dt. St Maharajo. Surat kabar Suara Perempuan yang lahir tahun 1919 di Padang di bawah pimpinan Sa’dah Alim memiliki ikatan yang kuat dengan kaum pembaharuan Islam. Beberapa surat kabar wanita lain yang tidak terlibat konflik kaum adat dengan kaum muda pembaruan Islam, tetapi lebih bersifat Islamis nasionalis atau pendukung gerakan emansipasi wanita adalah Asjiraq (surat kabar bulanan yang menjadi wadah bagi berbagai perhimpunan perempuan di daerah ini).
Selain itu, juga terbit surat kabar dengan bentuk lain yang beredar di Sumatera Barat yaitu surat kabar yang mewakili suara pelajar dan pemuda. Beberapa surat kabar yang termasuk kelompok ini adalah Signal (Leon Salim), Pemberi Sinar (Khatib Sulaiman & Leon Salim), dan juga ada majalah untuk anak – anak yang bernama Runiai Mas yang diterbitkan INS Kayutanam serta Pelopor Hati yang di terbitkan Abang di Bukittinggi. Selanjutnya ada banyak sekali surat kabar atau majalah umum. Beberapa diantaranya adalah Sinar Sumatera, Radio, Pewarta Persamaan, Sumatera Bode, Perantaraan Kita, Energi, Cambut, Raya, Dewan Pemuda, Timur Baru.
Ada sesuatu yang menarik dari surat kabar atau majalah yang terbit pada periode kedua ini. Pertama, surat kabar atau majalah yang terbit hingga tahun – tahun terakhir 1920-an lebih banyak melibatkan diri kedalam konflik yang terjadi pada saat itu. Pertama, konflik yang terjadi sesama “urang awak” (konflik antara kaum adat dengan kaum pembaharuan islam). Tidak ketinggalan pula konflik dalam menentukan posisi suatu kaum (misalnya perempuan) tengah masyarakat. Kedua, konflik antara “urang awak” dengan penjajah (diwakili oleh surat kabar komunis).
Selanjutnya adalah periode berjuang sejak proklamasi kemerdekaan hingga akhir tahun 1949. Pada kurun waktu ini warga Sumatera Barat tengah sibuk berjuang secara fisik dan juga mental menyelamatkan kemerdekaan yang telah diprolamirkan, orang Belanda pun tengah berjuang untuk mencengkeramkan kukunya kembali ke daerah ini. Ada dua bentuk utama surat kabar yang terbit pada masa ini, surat kabar nasionalis dan surat kabar Belanda atau pro Belanda. Surat kabar nasionalis jelas mendukung kemerdekaan, isinya menggelorakan semangat juang dan semangat mencintai tanah air.
Bariun A.S. di Padang dalam waktu yang hamper bersamaan dengan hadirnya Berjuang, Pedoman Kita yang diterbitkan Yusja dan Decha (September 1945) di Bukittinngi, Kedauylatan Rakyat yang diterbitkan Adinegoro (Oktober 1945) di Bukittinggi, serta Demokrasi yang diterbitkan Yusja dan M. Yusuf di Padang Panjang. Termasuk juga malah Menara yang diterbitkan Hamka serta Haskim yang diterbitkan Muhammadiyah. Pada tahun 1946 terbit lagi surat kabar penerangan yang dipimpin oleh Oie Tin Jin. Dari delapan media pada priode ini yang telah disebutkan, Kedaulatan Rakyat merupakan yang terbesar. Kedaulatan Rakyat pernah mencapai oplah sebanyak 14.000 eksemplar,jumlahnya yang mencengangkan di zaman itu. Berdasarkan oplan ini tentu tidak bisa dipisahkan dari tingginya minat masyarakat untuk membaca Koran karena adanya keinginan guna mengikuti perkembangan proklamasi kemesdekaan serta situasi politik daerah dan Nasional waktu itu.
Pada bukan yang sama di kota Padang juga muncul Suara Sumatera yang diterbitkan oleh Lie Un Sam. Surat kabar ini dipimpin oleh S. Alauddin. Namun, saying usia surat kabar ini tidak panjang. Namun, pemiliknya menerbitkan surat kabar lain yakni Harian Penerangan. Ada dua surat kabar Republik yang paling berpengaruh ketika tentara sekutu yang diboncengi NICA masuk ke Padang September 1945, yaitu Utusan Sumatera dan Kedaulatan Rakyat. Utusan Sumatera diterbitkan oleh Bariun AS berdasarkan Mulkan, Muchtar Mahyuddin, Marah Alif, dan sejumlah nama lain, merupakan surat kabar Republik yang berpengaruh di dalam kota. Sebaliknya Kedaulatan Rakyat menjadi surat kabar yang paling berpengaruh di daerah pedalaman. Setelah sekutu (Belanda) masuk dan melancarkan agresi militernya yang pertama, Kedaulatan Rakyat berganti nama menjadi Utusan Rakyat. Pergantian ini juga dilator belakangi oleh kepergian Adinegoro ke pulau Jawa dan mempercayai Anwar Luthan menjadi pemimpin redaksi Koran tersebut. Setelah agresi militer Belanda kedua, pers (umum) Sumatera Barat mulai mengalami masa suram. Penerbitan tidak dapat berjalan dengan baik, halangan yang paling mendasar adalah sukarnya mendapatkan bahan buku kertas.
Beberapa surat kabar lainnya yang terbit di daerah ini pada masa revolusi adalah Detik (Parada Harahap), panca Sila (Usman Hasibuan). Aksi (Yusuf su’ib), Genderang Sahid (Tamar Jaya), Mata Rakyat (Taher Samad), Menara Rakyat (Suska), Gunung Singgalang (Darwis Abbas) Haluan (Adaham Hasibuan), serta Riak Bauna (Bukittinggi). Hamper semua surat kabar ini terbit dalam waktu yang sangat terbatas dan dalam format atau tampilan yang sangat beragam. Sebuah perkembangan yang menarik terjadi pada akhir tahun 1949 ( pascapengakuan kedaulatan). Sebelum Haluan milik Kasoema, pada tahun 1926 pernah terbit surat kabar bernama sama di Padang.
Haluan sama radikalnya dengan surat kabar Boeka Mata yang dipimpin Muhammad Sahak. Mottonya saja berbunyi,” Haluan menerangkan macam-macam kesesatan dan kegelapan yang telah di taburkan oleh beberapa pembihong dan pendusta”, tampa menjelaskan siapa yang dimaksud :pembohong dan pendusra “ itu. Sebuah perkembangan lain adalah mulai meraknya penerbitan yang di kelola oleh lembaga pemerintahan, seperti yang diterbitkan oleh Djawatan Penerangan Provinsi dan Kabupaten di Sumatera Barat (ada11), ada satu yang diterbitkan oleh Persatuan Pamopraja, yaitu perkembangan dan ada pula yang diterbitkan Djawatan P.P. dan K.yaitu Penghubung. Priode berjuang sesungguhnya merupakan masa di mana kehadiran surat kabar dan majalah tidak herorientasi kepada keuntungan financial. Tujuan utama penerbitannya adalah untuk ikut serta menggelorakan perjuanagan. Karena itu hamper tidak ada surat kabar zaman ini yang bertahan lama hingga melampaui periode perang tersebut.



Daftar Pustaka

Darwis. Yuliandre. 2013. Sejarah Perkembangan Pers Minangkabau ( 1859-1945 ). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
http://repo.unand.ac.id/3975/1/BP-YD-Sejarah_PPM_opt.pdf  ( di akses pada 12 November 2019 pukul 21.37 )

Komentar

Postingan Populer