politik ekonomi Indonesia pada tahun 1808-1811
Politik dan Ekonomi Indonesia Tahun 1808-1811
( Masa Pemerintahan H. W. Daendels )
VOC
sendiri sudah hampir gulung tikar. Selama perang Inggris IV (1780-1784). Voc di
Indonesia semakin terpisah dari negeri Belanda. Voc bukan hanya harus meminjam
sekitar 2.300 prajurit dari Surakarta dan Yogyakarta guna mempertahankan
Batavia dari serangan yang di duga akan dilancarkan oleh pihak Inggris (yang
tidak pernah terjadi), melainkan juga meminta bantuan keuangan kepada
pemerintahan di negeri Belanda. Pemerintahan Belanda kemudian memulai
penyelidikannya terhadap kondisi Voc dan berhasil mengungkap kebangkrutan,
skandal, dan salah urus di segala segi. Dalam kurun Desember 1794 sampai
Januari 1795. Prancis menyerbu negeri Belanda dengan penuh sukses dan membentuk
pemerintahan bonekanya disana. Pada tahun 1796, Heeren XVII dibubarkan dan
diggantikan oleh suatu komite baru. sesudah itu, pada tanggal 1 Januari 1800,
VOC pun secara resmi dibubarkan. Wilayah-wilayah yang menjadi miliknya kini
menjadi milik pemerintahan Belanda. Akan tetapi, hanya perubahan kecil yang
terjadi di Indonesia, karena para pemegang jabatan masih tetap orang-orang lama
dan tetap pula melakukan cara-cara lama.
Hubungan
Belanda dengan Jawa dapat dikatakan aagak stabil pada tahun 1792. Dalam teori,
pihak Belanda berkuasa secara langsung atas daerah pesisir utara, tetapi dalam
kenyataannya para penguasa lokal (bupati) lah yang bertindak sebagai
wakil-wakil mereka. Di wilayah pedalaman, perjanjian tahun 1749 yang telah
menyerahkan kedaulatan atas Kerajaan Mataram kepada VOC tidaklah mempunyai
arti, dan hubungan pihak Belanda dengan istana-istana Jawa dalam kenyataannya
hanya berbentuk persekutuan belaka. Para residen Belanda di istana-istana
bertugas sebagai duta, bukan sebagai penguasa-penguasa penjajah. Pihak jawa
telah menciptakan justifikasi mitologis bagi hubungan mereka dengan pihak
Belanda yang ditemukan terutama dalam
teks-teks yang berjudul Serat Baron
Sekendher ( kitab tentang Baron
Sakendher).
Akan
tetapi, keunggulan militer Yogyakarta terancam oleh pemerintahan Hamengkubuwono
II, yang mulai merusak mufakat golongan
elite yang sangat penting artinya dalam bagi kekuatan dan stabilitas. Sultan
ini bertikai dengan saudara-saudaranya terutama dengan Pangeran Natakusuma
(1764-1829) yang cerdik, cakap, dan berpengaruh di istana. Sebagian besar
penasihat dan pejabat Hamengkubuwono I sudah meninggaldunia atau berusia sangat
lanjut dan Hamengjubuwono II segera mengganti mereka dengan orang-orangnya
sendiri yang disukainya tetapi yang kurang cakap. Patih ayahnya yang cakap. Danureja I (1755-1799) diganti oleh
cucunya Danureja II (1799-1811), dia tidak efisien dan segera menggalang
persekutuan yang erat dengan suatu klik istana yang mengelilingi puta mahkota
(kelak bergelar Hamengkubuwana III). Sistem perpajakan dan kerja paksa yang
diberlakukan Sultan dengan cepat menjadi dan semakin menindas. Proyek-proyek
pembangunannya di istana meletakkan beban kerja yang sangat berat terhadap
rakyatnya dari daerah-daerah luar (mancanegara). Penghinaannya terhadap
kelemahan VOC segera mengakibatkan semakin memburuknya hubungan dengan
orang-orang Belanda yang berada di istananya. Dan ketiga orang istrinya menjadi
semakin berpengaruh sebagai penengah persengkokolan di istana. Dari semua
keadaan itu, perasaan tidak tentu dan tidak puas semakin berkembang.
Di
Surakarta, Pakubuwana IV maupun Pangeran Adipati Arya Mangkunegara II (m.
1796-1835. Pada awal masa pemerintahannya dikenal sebagai pangeran Prangwadana)
berusaha mengisolasikan Yogyakarta dan meminta kepada pihak Belanda untuk
berbalik melawan Sultan Mangkunegara II mempunyai alasan untuk membenci
orang-orang Belanda, karena pada waktu
pengangkatannya, semua harta yang ia warisi disita oleh residen Belanda di
Surakarta, I Frederik Baron van Reede tot de Parkeler ( 1790-1796). Orang ini
mungkin dapat dianggap sebagai pejabat
yang paling korup selama sejarah VOC, suatu status yang ditandai dengan
ketidakjujuran yang benar-benar luar biasa. Baru pada tahun 1809, Mangkunegara
II berhasil memperoleh kembali harta warisannya
setelah melalui proses pengadilan yang lama sekali. Meskipun demikian,
dia memutuskan bahwa masa depannya lebih terjamin apabila dia bekerja sama
dengan orang-orang Belanda, satu-satunya pelindung dari ancaman permusuhan
Susuhunan maupun Sultan. Pada tahun 1808, atas perintah Daendels, Mangkunegara
II membentuk “Legiun Mangkunegara” yang terdiri atas prajuritnya sendiri dengan
bantuan keuangan pihak Belanda. Dia dianugerahi pangkat kolonel dan diberi
10.000ryksdaalders lebih setiap tahun
sebagai gaji dan dukungan terhadap legiun yang beranggotakan 1.150 orang
prajurit itu. Legiun nya ini akan melaksanakan banyak tugas dalam persekutuan
dengan pihak pemerintahan kolonial di masa mendatang termasuk penyerangan
terhadap Yogyakarta pada tahun 1812. Perang Jawa 1825-1830 dan Perang Aceh pada
tahun 1873-1874 Pakubuwana IV juga berusaha mengambil hati pihak Belanda tetapi
pada saat yang sama bertindak seolah-olah bersahabat dan ramah terhadap
Hamengkubuwana II. Tujuannya adalah merekayasa kehancuran Yogyakarta. Karena
hubungan Hamengkubuwana II dengan pihak Belanda semakin memburuk dan perlawanan
di daerah kekuasaannya semakin bertambah besar, maka jelas dia akan menjadikan
bulan-bulanan musuh-musuhnya.
Pada
tahun 1808 mulai berlangsung suatu zaman baru dalam hubungan Jawa-Eropa. Negeri
Belanda telah berada di bawah kekuasaan Perancis sejak tahun 1795. Sehubungan
dengan sentralisasi kekuasaan yang semakin besar, maka Napoleon Bonaparte
mengangkat adiknya, Louis Napoleon sebagai penguasa di negeri Belanda pada
tahun 1806. Pada tahun 1808, Louis mengirim Marsekal Herman Willem Daendels ke
Batavia untuk menjadi gubernur jenderal (1808-1811) dan untuk memperkuat
pertahanan Jawa sebagai basis melawan Inggris di Samudera Hindia. Daendels
adalah seorang pemuja prinsip-prinsip pemerintahan yang revolusioner. Dia
membawa ke Jawa suatu perpaduan antara semangat pembaruan dan metode-metode
kediktatoran, yang sebenarnya hanya menuai sedikit hasil dan justru banyak
perlawanan. Dia berusaha memberantas ketidakefisienan, penyelewengan, dan
korupsi yang menyelimuti administrasi Eropa, tetapi banyak dari langkah-langkah
pembaruannya tak begitu berhasil. Dia memiliki perasaan tidak suka, yang muncul
dari naluri-naluri antifeodalnya, terhadap para penguasa Jawa (bupati) di
daerah-daerah yang di kuasai Belanda. Bagi Daendels, mereka bukan penguasa atau
pemimpin atas masyarakat mereka melainkan pegawai administrasi Eropa. Dia pun
mengurangi wewenang dan penghasilan mereka.
Daendels
memperlakukan para penguasa Jawa Tengah seolah-olah mereka merupakan vasal- vasal
Batavia. Menurut hukum, tindakannya itu betul, karena perjanjian tahun 1749
telah menyerahkan kedaulatan kepada VOC. Akan tetapi, Batavia sesungguhnya
tidak pernah berusaha melaksanakan kekuasaannya di wilayah pedalaman. Para
residen di istana-istana kini dinamanakan “Minister” bukan “Residen”. Mereka
dipandang bukan sebagai duta dan sekutu yang satu untuk sekutu yang lain,
melainkan sebagai wakil-waki lokal dari kekuasaan pemerintahan Eropa, yang
diwakili di Batavia oleh gubernur jenderal. Dalam semua urusan protokol ,
mereka mulai sederajat dengan raja-raja Jawa. Ini merupakan suatu pelanggaran
langsung terhadap hubungan yang sudah terjalin sejak tahun 1750-an. Sesuai
dengan kepribadian dan kebijakan mereka, Pakubuwana IV menyambut baik
perubahan-perubahan tersebut tetapi Hamengkubuwana II menolaknya. Dari sinilah
bermula suatu periode konflik yang panjang yang akan berakhir dengan meletusnya
perang jawa.
Daendels
tidak membawa pasukan baru bersamanya, tetapi dia segera meningkatkan jumlah
pasukannya yang sebagian besar terdiri atas orang-orang Indonesia, dari 4.000
menjadi 18.000 orang. Serdadu-serdadu tersebut tidak mempunyai disiplin yang
baik dan berkelakuan buruk dalam beberapa peristiwa. Meskipun demikian,
kekuatan militer pihak Eropa di Jawa tidak boleh diabaikan lagi. Akan tetapi,
Hamengkubuwana II tetap saja mengabaikannya. Dia menentang semua yang diwakili
oleh Daendels.
Tanggapan-tanggapan
Pakubuwana IV yang semakin cerdik meyakinkan Daendels bahwa dia bersedia
bekerja sama, tetapi tampaknya Hamengkubuwana II sedang bersiap-siap
melancarkan perang total pada tahap ini, tetapi kecurigaan Daendels telah
memperbesar ancaman bahaya terhadap posisi Yogyakarta. Pada tahun 1810, kepala
pemerintahan Sultan untuk wilayah-wilayah luar (mancanegara), Raden Rangga melancarkan
sebuah pemberontakan terhadap
pemeriintahan Eropa. Dia saudara ipar Sultan dan mendapat dukungan secara
diam-diam dari Sultan dan kalangan bangsawan Yogyakarta. Pemberontakan ini
berhasil ditumpas dengan mudah dan Rangga terbunuh, tetapi putranya Sentot
masih hidup untuk memainkan peran penting dalam Perang Jawa. Sementara itu,
semakin meningkatnya ketegangan di dalam istana mendorong Sultan untuk
melangkahi Patih Danureja II ( yang menurut perjanjian, jabatannya merupakan
penunjukkan bersama Jawa-Belanda ) dan menyerahkan wewenangnya kepada Pangeran
Natadiningrat, putra saudara Sultan yang bernama Natakusuma.
Pemberontakan
Raden Rangga menyebabkan dikeluarkannya ultimatum oleh Daendels yang ditujukan
kepada Hamengkubuwana II. Dia harus menyetujui perubahan terhadap upacara
istana yang berkaitan dengan kedudukan “Minister” Eropa mengangkat kembali
Danureja II dengan kekuasaan penuh dan bertanggungjawab atas pemberontakan
Rangga. Sultan menolak sehingga pada bulan Desember 1810 Daendels bergerak menuju
Yogyakarta dengan membawa 3.200 serdadu dan memaksa Hamengkubuwana II turun
takhta dan menyerahkannya kepada putranya yang kini menjadi wakil-wakil raja (
Hamengkubuwana III, m. 1810-1812-4).
Pada
bulan Januari 1811, Daendels memaksakan perjanjian-perjanjian baru, yang
melibatkan penggabungan banyak daerah ke dalam wilayh pemerintahan Belanda
kepada Surakarta maupun Yogyakarta. Sesuai dengan anggapan Daendels bahwa
pemerintahan koloniallah yang berdaulat, maka uang sewa daerah pesisir yang
selama ini telah dibayarkan oleh Batavia sejak tahun 1746, kini dihapuskan.
Dengan demikian, dengan sekali pukul Daendels telah menghapuskan insentif
finansial yang paling penting istana-istana jawa untuk bersedia pemerintahan
orang-orang Eropa atas daerah pesisir, dan meniadakan sumber utama penghasilan
istana. Dia kemudian mengasingkan Pangeran Natakusuma dan putranya
Natadiningrat ke penjara di Cirebon, karena dia yakin bahwa mereka telah begitu
jauh terlibat dalam pemberontakan Rangga.
Kini
peperangan-peperangan Napoleon di Eropa telah merembet ke Indonesia. Ketika
William V dari negeri Belanda berhasil lolos dari serangan pasukan Perancis dan
melarikan diri ke Inggris pada tahun 1795, dia memperoleh tempat tinggal di Kew
dan mengeluarkan apa yang dikenal sebagai ‘surat-surat Kew’. Dokumen ini
memerintahkan para pejabat jajahan Belanda untuk menyerahkan wilayah mereka
kepada orang-orang Inggris supaya tidak jatuh ke tangan Perancis. Berdasarkan
otoritas ini, dan dengan kapal pasukan, serta senjata yang lebih banyak dari
pada yang dimiliki oleh pihak Belanda di Indonesia, maka orang-orang Inggris
merebut atau diberi beberapa pos di Indonesia. Mulai tahun 1795, pihak Inggris
meningkatkan blokadenya terhadap Batavia dengan mengacaukan ekspor kopi.
Blokade ini sangat mempengaruhi pendapatan pemerintahan Belanda. Dengan
jatuhnya pangkalan utama Perancis di Mauritius pada akhir tahun 1810, pihak
Inggris sudah siap merebut jantung jajahan Belanda, Pulau Jawa.
Pada
bulan Mei 1811, kedudukan Daendels sebagai gubernur jenderal digantikan oleh
Jan Willem Janssens yang telah menderita penghinaan akibat menyerahkan Tanjung
Harapan kepada pihak Inggris pada tahun 1806. Dia mampu bertahan cukup lama di
Jawa hanya untuk melakukan hal yang sama. Pada tanggal 4 agustus 1811, enam
puluh kapal Inggris muncul di depan Batavia dan pada tanggal 26agustus, kota
tersebut beserta daerah-daerah sekitarnya jatuh ke tangan Inggris. Janssens
mundur ke Semarang, di mana Legiun
Mangkunegara serta prajurit-prajurit dari Yogyakarta dan Surakarta bergabung
dengannya. Pihak Inggris berhasil memukul mundur mereka dan, pada tanggal 18
September, Janssens menyerah di dekat Salatiga.
Daftar Pustaka
Ricklafs, M. C. 2008. Sejarah Indonesia
Modern. Jakarta : PT Serambi
Komentar
Posting Komentar